SETIAP orang pasti pernah memiliki “pengalaman puitik.” Sebab, setiap orang pasti pernah melalui berbagai “perjalanan bathin” dalam kehidupan sehari-hari. Ya, dalam proses “perjalanan bathin” itulah, apa yang disebut “pengalaman puitik” itu terlahir. Namun, rupanya, tidak setiap orang yang menyadari bahwa dalam dirinya, dalam bathinnya, telah terpatri berbagai “pengalaman puitik” itu. Tapi, bagi para penulis fiksi (terutama penulis puisi/penyair), “pengalaman puitik” ini jadi kebutuhan primer mereka.
Yang jadi soal kemudian adalah, bagaimana cara kita mengetahui bahwa kita telah menemukan “pengalaman puitik” itu? Sebetulnya, tidak sulit mendeteksinya. Kuncinya, mau atau tidak kita membuka kepekaan indra kita terhadap berbagai hal yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Mau atau tidak kita “membaca” dengan teliti dan sabar berbagai fenomena alam yang terjadi setiap waktu dalam kehidupan kita. Nah, bagi adik-adik yang mau jadi penulis, wajib hukumnya untuk mengatakan “saya mau!”
Saya coba ambil contoh beberapa moment yang mungkin kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita, tapi terlewatkan begitu saja. Misalnya, ketika kita sedang duduk di bawah pohon, tiba-tiba selembar daun kering jatuh tepat di batang hidung kita. Jika kita lewatkan, maka peristiwa kecil ini tak jadi pengalaman bathin. Tapi jika kita mau sedikit merenung, dan menempatkan peristiwa itu dalam ruang permaknaan yang lebih luas, mau mengembangkan imajinasi, maka jadilah ia peristiwa yang menakjubkan.
Kenapa? Karena daun kering yang jatuh itu, adalah sebuah “pengalaman puitik.” Apa puitiknya? Bukankah daun kering adalah makna dari sesuatu yang menua, sesuatu yang dimakan usia? Lalu, ia jatuh. Bukankah “jatuh” adalah sebagaimana juga waktu yang terus jatuh berguguran? Lalu, jatuhnya di batang hidung kita pula. Bukankah, waktu yang berguguran itu langsung menunjuk kepada diri kita? Nah, dengan begitu, apakah kemudian kita tak melakukan evaluasi terhadap diri kita? Pengalaman semacam ini, adalah embrio kelahiran sebuah puisi.
Contah lain, yang lebih verbal, mungkin sangat banyak, yang selama ini, sering jadi ide dalam menulis karya sastra. Misal, pengalaman bathin ketika adik-adik merasa sangat bahagia karena teman-teman kita datang memberikan ucapan selamat ulang tahun, apalagi dengan membawa bingkisan. Rasa bahagia itu, adalah “pengalaman puitik” yang kalau digali dengan lebih kreatif, dan mendalam, bisa dituliskan menjadi puisi, atau cerpen yang menarik. Tapi, saya hendak menunjukkan contoh lain yang tidak verbal, yang mungkin lebih sering terlewatkan. Misalnya ketika kita menyaksikan seorang pencopet di pasar babak-belur dihajar oleh masa. Apakah yang kita rasakan? Apakah empati kita bangkit? Apakah yang kita pikirkan? Apakah pikiran-pikiran kritis kita terhadap kehidupan sosial kita mulai bekerja? Contoh lain, ketika kita melihat anak-anak remaja seusia adik-adik, sedang demikian asyik bercanda, tertawa-tawa di mal, di café-café, apakah yang sedang kita rasakan? Apa yang kita pikirkan? Coba renungkan, pangalaman puitik bisa hadir melintas-lintas dalam percakapan mereka tentang tema apa saja.
Pengalaman puitik bisa lahir dari segelas mocca yang tersenggol oleh tangan salah seorang teman kita, jatuh pecah di lantai keramik.
Adik-adik, ada banyak lagi sebetulnya kalau mau kita deretkan di sini. Namun, yang banyak itu, hanya akan jadi peristiwa yang tak penting, kalau kita tak mencatatnya, sebab jangkauan ingatan kita tak sepenuhnya dapat dipercaya. Ada satu proses penting, yang mungkin bisa adik-adik lakukan untuk itu. Yakni, mencatatnya. Tak ada kertas, tak ada pena, tak masalah. Sebab bukankah di HP canggih kita, semua bisa segera kita tuliskan?
Minggu ini, ada cerpen “Francis dan Kucing-kucing Kecil” karya Desy Wahab. Cerpen ini, kalau dibaca sepintas mungkin akan sulit dicerna. Sebab, nampaknya Desy mencoba memainkan plot. Ini sebuah siasat kreatif. Ia mencari pembaca dengan kacamata perspektif yang berbeda. Kesepian, janji yang didustai, sebuah penantian, juga rindu yang dalam, adalah tema-tema yang diungkai di dalamnya.
Untuk puisi, ada Julisman, “Yang Tak Terkenang Lagi.” Sebuah puisi yang mencoba merangkai berbagai peristiwa dalam satu tajuk. Meski, kemudian yang kita rasakan berbabagai peristiwa itu terburai. Hendaknya Julis lebih dapat membuat “terang: puisinya ini, dengan berhati-hati memilih diksi.Yelna Yuristiary, kali ini hadir dengan “Bayang-bayang Karubaki.” Nampaknya Yelna mengambil spirit dari sebuah kisah, yang terjadi di luar dirinya, mengolahnya jadi imaji-imaji. Cukup berhasil. Meski cukup sulit juga bagi mereka yang belum mengetahui referensi ihwal kisah di balik puisi tersebut.
Puisi “Menatap Petang” karya Riza Rizki, cukup pandai mengurai suasana, terutama pada bait pertama. Namun pada bait berikutnya, terasa agak goyah puisinya. Tersebab diksi-diksi yang coba dimainkan. Semantara puisi “Halte Cinta” karya Jesnita, cukup kuat imaji yang dibangun. Tema penantian, rindu, juga kecemasan dapat terurai di sana. Diksi “kereta waktu” cukup memberi penutup yang berkesan.
Dua puisi lain, ada “Bukan Milik Kita” karya Elsa Silvira. Elsa tampak bermain-main dengan diksi, meski masih terasa terseret-seret di sana sini. Mungkin, Elsa harus lebih selektif lagi memilih kata, hingga tak ada kesan mengulang.
Demikian pula yang terjadi dalam puisi Dwi Endah M dengan puisi “Jebakan Maut.” Perlu diketahui, bahwa puisi tak mesti selalu mencari efek mendayu-dayu, sementara penggalian makna terabaikan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar